Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Oleh Nasrullah

Hari ini Jumat, 27 Maret 2020, bertepatan bertepatan 2 Syaban 1441 H, semua orang merasa aneh, ganjil dan mungkin terasa sepi meski memakluminya karena tidak diselenggaraan shalat Jumat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat hingga daerah menyampaikan himbauan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat untuk sementara waktu karena wabah virus Korona
(lebih…)

Read Full Post »

Era Baju Dondai

Baju ini tampak biasa, apalagi terlihat sobek. Namun bagi anak muda Bakumpai sekitar tahun 90-an sepanjang sungai Barito, baju tersebut adalah model prestise dan gengsi.

20190603_115817.jpg

Merk baju menang bertulis Delphi, tetapi model baju yang coraknya kontras depan belakang mengingatkan pada merk baju ternama waktu itu yakni Dondai.

Generasi baju Dondai, adalah kelanjutan sandal Indian, celana pendek merk Lotto, dan baju cap Payung, era kemakmuran rotan

Harga memang tidak mendustai kualitas dan gaya. Memiliki baju Dondai adalah kebanggaan anak muda, terutama dipakai ketika menonton pertunjukkan orkes Dangdut, atau pergi ke Pasar.

Lucunya, baju Dondai bukan limited edition, tapi menjadi pakaian semua orang. Waktu itu, saya tersenyum dalan hati, kenapa orang berbaju dengan merk dan corak yang sama seolah-olah baju seragam.

Begitulah, baju Dondai adalah bergaya anak muda Bakumpai era 90-an. Baju itu secara lebih luas menunjukkan kemakmuran era rotan, ikan, dan menebang pohon. Namun seiring terbukanya lahan gambut sejuta hektar, mengkonversi hutan di Kalimantan Tengah terutama kawasan sungai Barito, baju Dondai berlahan dilupakan.

Ini akibat pekerjaan susah, krisis ekonomi mendera, terjadi resesi dunia. Indonesia sebagai salah satu negara macan Asia ambruk. Maka tak ada lagi baju Dondai dikenakan pemuda Bakumpai.

Read Full Post »

Oleh : Nasrullah

Mari kita melihat suasana saat ini dengan agak berjarak, setidaknya menumbuhkan sikap kritis bahwa apakah riuh rendah yang tengah berlangsung adalah benar terjadi, sesuatu yang nyata, atau kah sekedar representasi dan hyperrealitas belaka. Kita membutuhkan analogi untuk bisa memahami hal tersebut, setidaknya, bukan untuk menyederhanakan tetapi boleh jadi kita akan manggut-manggut takjub dan berkata “oh seperti itukah”.
(lebih…)

Read Full Post »

Oleh: Nasrullah
Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Sosiologi
dan Antropologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat

Saat ini sedang berlangsung rangkaian kegiatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung di Provinsi Kalimantan Selatan khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) dan Kabupaten Barito Kuala (Batola).

Jika ada sesuatu hal yang maknanya dipertentangkan, diperjuangkan hingga diperdebatkan saat masa kampanye pada pemilihan kepala daerah tersebut, maka itu adalah angka. Pada dasarnya, angka merupakan otoritas eksak, tapi dalam pilkada angka menjadi tidak pasti.

Bayangkan saja penghitungan 1+0=?; 1+1=? Atau 1+2=? sangat mudah dijumlahkan, bahkan anak TK saja dapat menjawabnya. Namun jumlah itu pada masa pilkada menjadi problematis diucapkan, karena orang cenderung berpihak pada angka tertentu. (lebih…)

Read Full Post »

Diaspora Orang Bakumpai

Oleh: Setia Budhi

 Penulis: Pusat Kajian Antopologi, Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan

 Pendahuluan

Keberadaan kantong-kantong orang Bakumpai di daerah Long Iram di Kalimantan Timur dan Samba di Kalimantan Tengah dan kemudian di daerah Handil Brunai serta Kota Banjarmasin yang berkembang hingga Abad ke-19, memunculkan banyak pendapat. Pendapat pertama menyimpulkan orang Bakumpai merupakan gelombang dari Kalimantan Tengah, yaitu daerah Barito Hulu. Pendapat ini memperkuat dugaan bahwa situasi Perang Barito 1869 menyebabkan orang Bakumpai mencari kawasan yang lebih aman, mereka menyeberang kea rah Timur terus ke Sungai Mahakam dan sebagian lagi menyusur ke arah Barat ke Sungai Katingan Tumbang Samba.

Bukti-bukti linguistik yang menghubungkan bahasa-bahasa di daerah itu dengan data fonologis, morfo sintaksis dan leksikal, dapat dibuktikan bahwa kelompok kelompok bahasa Samba, Berangas dan Long Iram yang digunakan di daerah itu berhubungan erat dengan bahasa-bahasa orang Bakumpai di Sungai Barito terutama Muarabahan dan Tumbang Lahung. Penjelasan lain pemukiman pemukiman tempat tinggal mereka yang baru nampak sama dengan tempat asal mereka.
Pendapat berikutnya dilatarbelakangi oleh spirit Hakula’ yang menyebabkan orang Bakumpai dapat diterima dimana-mana tempat, suku maupun agama. Orang Bakumpai meninggalkan kampung halaman ke daerah lain karena berpendapat bahwa daerah lain itu memberi kehidupan lebih baik. (lebih…)

Read Full Post »

Oleh: Nasrullah
Staf Pengajar PSP Sosiologi dan Antropologi, FKIP Unlam

ProfileKebingungan tengah melanda kalangan pemilih untuk menentukan calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu 2014. Ada yang mengatakan, “Mereka, para caleg itu, bukan orang jauh dari negeri antah berantah. Caleg justru dari orang-orang sekeliling kita. Mereka adalah sahabat karib, kolega, keluarga, relasi dan lain sebagainya”.

Dapat dibayangkan betapa dilematisnya pemilih, karena beberapa orang dekat menjadi caleg dalam satu daerah pemilihan. Padahal, pemilu adalah penguatan hubungan politis antara pemilih dengan caleg. (lebih…)

Read Full Post »

Oleh: Nasrullah
Staf Pengajar PSP Sosiologi dan Antropologi, FKIP Unlam

Semakin mendekati pemilu legislatif April 2014, semakin mudah pula kita menemukan wajah-wajah calon anggota legislatif (caleg). Ada yang muncul di bawah pepohonan, di batang pohon, di tepi sungai, di pinggir jalan, di sela-sela rerumputan, hingga dalam gang sempit.

Hampir di setiap tempat, ada wajah caleg yang tampil melalui spanduk, baliho, banner dan sebagainya (selanjutnya disebut media caleg). Bahkan, kalau bisa dilakukan, wajah caleg boleh jadi ada di angkasa yang menempel pada awan. (lebih…)

Read Full Post »

Atas Nama Kebudayaan

Oleh: Nasrullah

Akhir-akhir ini istilah ‘kebudayaan’ begitu ramai dibicarakan, bahkan menjadi trending topic karena selalu diletakkan dalam berbagai kegiatan. Istilah ‘kebudayaan’ tersebut dapat dilihat dalam berbagai baliho yang berukuran kecil hingga raksasa, dilekatkan dalam berbagai kegiatan dari menari, menyanyi, hingga masuk dalam kancah kegiatan festival besar. Pokoknya kebudayaan seperti benda pajangan dalam etalase toko yang dapat dilihat, dipegang dan dibeli untuk kepentingan apapun. Jika kebudayaan menjadi sedemikian fleksibel, dapat menyeruak dalam segala lini maka menjadi pertanyaan penting, fenomena (kebudayaan) apakah yang terjadi saat ini? Penulis membahasnya dalam sudut pandang antropologi sebagai ilmu mempelajari kebudayaan. (lebih…)

Read Full Post »

Oleh: Nasrullah

Selama perjalanan darat dari kota Tenggarong, Kutai Kartanegara menuju kota Sendawar, Kutai Barat yang memakan waktu sekitar enam jam, seolah membaca buku cerita yang terbuka tentang bumi Kalimantan. Sepanjang jalan pandangan mata terpaku pada pepohonan kecil yang berusaha bangkit dari nestapa rimba raya Kalimantan yang telah digergaji dan ibabat habis. Tak ubahnya tukang gunting memotong rambut para narapida hingga meninggalkan bentuk yang tak jelas.

Cerita tentang kemakmuran hutan Kalimantan Timur dan pulau Kalimatan pada umumnya, hanyalah milik para pemodal. Begitu pohon telah habis, gampang saja mereka mengangkat koper tanpa harus menoleh ke belakang. Entah berapa lama masyarakat Dayak harus survive untuk melewati masa recovery hingga pepohonan kembali menjulang ke langit dan akarnya kokoh mencengkram ke bumi. Kita tidak akan bisa menebak dibutuhkan waktu 50 tahun, 100 tahun atau lebih agar alam Kalimantan kembali kepada seperti semula. (lebih…)

Read Full Post »

Oleh: Nasrullah

 Judul, ide dan pengalaman yang berbeda cerita berbeda pula. Apalagi bagi kaum sastrawan tak akan sudi diatur-atur. Namun, entah kenapa perbedaan itu hanya pada tataran permukaan. Inilah yang terjadi dalam buku Di Perbatasan Kota Bunga Kumpulan Cerpen Borneo. Duabelas cerpen dari duabelas orang pengarang yang berbeda nyaris berkisah tentang hal yang sama: kematian. Entah dalam bentuk kiasan atau pun cerita sebenarnya, tetapi begitulah kenyataannya.

Cerpen berjudul Ayah Kami karya cerpenis Serawak, Poul Nanggang menceritakan sikap kaku seorang Ayah yang bertahan dengan tradisi pengobatan tradisional. Konflik muncul antara Ayah dan anak yang ingin membawanya ke rumah sakit. Aku sanggup mendukung ayah. Ayah juga menolak. Aku sanggup ayah dengan “joli” yang dipinjam dari Su Runting, juga ditolak ayah kerana nyawanya tidak mampu bertahan. Akhirnya, ayah mengarahkan Aku memanggil Yaki Yampil, seorang pengamal perubatan tradisi Bisaya (h. 5). (lebih…)

Read Full Post »

Older Posts »