Bangsa Indonesia kaya akan cerita-cerita rakyat dalam sastra lisan (foklore), sebenarnya kalau dicermati ternyata kebanyakan cerita tersebut mempunyai kesamaan ide. Namun demikian, tidak banyak di antara kita yang mendalaminya, apalagi memahami pesan dari suatu cerita. Mungkin kebanyakan kita, hanya melihat sebagai suatu legenda, terkadang untuk ditakuti, dikagumi, atau bahkan sekadar dongeng menjelang tidur bagi anak-anak.
Kecenderungan adanya sastra lisan tersebut, bisa dimaklumi sebab pepatah Arab mengatakan, manusia adalah hewan yang bertutur. Dari situlah yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya. Menurut Ahimsa Putra (2002) manusia adalah makhluk yang mampu menggunakan, mengembangkan, menciptakan lambang untuk berkomunikasi dengan sesama. Melalui lambang-lambang pula manusia menanggapi lingkungannya. Dalam hal ini bahasa merupakan sistem lambang yang paling penting dalam kehidupan manusia.
Pembahasan lebih luas muncul, bahwa melalui bertutur atau bahasa sebagai pintu gerbang untuk memahami tingkah laku, atau kebudayaan manusia. Termasuk memahami kebudayaan yang terkandung dalam cerita rakyat. Bahasa kemudian menjadi penting ketika dihubungkan dengan kebudayaan. Ketika misalnya kebudayaan adalah perangkat simbol yang diperoleh dari belajar dalam kehidupan bermasyarakat, yang melestarikan kehidupan manusia. Maka kebudayaan itu, bisa dikatakan adalah berarti bahasa. Berhubungan dengan makna, fungsi teks hadir untuk menguraikannya. Sebab teks, adalah kumpulan bahasa yang tertulis.
Begitulah, bagi kalangan pemerhati budaya, sastra lisan bukan sesuatu yang kering makna. Dari sudut pandang demikian, saya mencoba mengangkat sastra lisan tentang Patih Bahandang Balau, sebuah cerita yang masyhur bagi kalangan orang-orang Bakumpai.
Asal Usul Orang Bakumpai
Sastra lisan Patih Bahandang Balau telah dibukukan oleh Depdikbub Jakarta tahun 1979 yang disusun oleh Sjahrial SAR Ibrahim dkk. Versi lain yang isinya tidak jauh berbeda disusun oleh Kasmuddin dkk, terbitan tahun 2005 oleh Institute For Sustainable Develompment Marabahan. Tidak menutup kemungkinan, ada versi lain tentang kisah Patih Bahandang Balau.
Di luar pendapat para pakar tentang asal-usul orang Bakumpai, dalam cerita ini disebutkan bahwa: Helu ete si ngaju sungei Barito kanih ada lebu ji araiye Air Manitis, ji iyelai uluh Suku Dusun Biaju. Artinya Dahulu di daerah hulu sungai Barito, ada kampung yang bernama Air Manitis dihuni oleh Suku Dusun Biaju.
Kepala suku tersebut mempunyai anak kembar, sang kakak seorang laki-laki bernama Patih Bahandang Balau selanjutnya disebut Patih saja, dan adik kembar perempuannya bernama Datu Sadurung Malan, kemudian ditulis Datu. Masing-masing melahirkan keturunan orang Bakumpai dan Biaju, bermula kisah ketika Datu memilih tajun (melarikan diri) karena tidak mau menikah dengan Kakak kandungnya Patih.
Dari hulu Barito, Datu menggunakan jukung berkayuh menjauh dari kampung halaman. Pilihannya pergi ke pulau Jawa, waktu itu sungai Barito hanya sampai Muara Pulau (terletak di kecamatan Tabukan, Batola). Selanjutnya sungai Barito menyambung ke sungai Kahayan. Karena tidak mau pelariannya diketahui, Datu membuat jalan sendiri. Ia menarik jukung ke arah sebelah kiri, tepat di belakang kampung Muara Pulau berdiri Kampung Jambu Baru. Bekas jalan dari jukung Datu, membuat sungai kecil, lama kelamaan membesar hingga disebut sungai Barito.
Sekian waktu berlalu, tahulah Datu bahwa Patih sudah menikah. Ia pun berfikir untuk pulang ke kampung dengan membawa suami dan anak cucunya, sambil menapak tilasi jalan yang ia buat dulu. Melewati tempat tersebut, terkejutlah Datu jalan itu telah ramai dan menjadi sungai. Akhirnya sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung halaman, Datu membuat rumah tempat tinggal bersama keluarganya di suatu tempat dengan tanda ayam jantan berkokok.
Tempat itupun kemudian dikenal sebagai Marabahan, atau Kampung Bakumpai. Demikianlah dalam cerita tersebut, memberikan kesan pada kita bahwa suku Bakumpai juga suku-bangsa Dayak.
Bukan Kasih Tak Sampai
Kisah cinta Patih terhadap adiknya, kalau dicermati secara serius ternyata tidak sekedar kisah cinta yang tak terbalas atau kasih tak sampai. Dikisahkan Datu mempunyai paras sangat cantik, sehingga kakaknya jatuh cinta. Tidak tahan dengan perasaan sendiri, Patih mencari-cari kesempatan menyatakan cintanya dengan Datu.
Suatu kesempatan di sawah, Patih mengutarakan isi hati pada adiknya sendiri untuk memperistri Datu. Sayangnya Datu tidak mau menikah dengan Patih, setelah kejadian Datu tidak mau lagi berduaan dengan kakaknya di sawah kecuali ada kedua orang tuanya.
Kesempatan lain, Patih mengutarakan lagi niatnya, namun lagi-lagi Datu menolak dengan mengatakan. “Itah te hampahari ka’ai kakueh beh adat istiadat gida mambolehkan hal jite”. Artinya, kita itu bersaudara Kak, bagaimanapun adat istiadat melarang hal itu. Merasa cintanya benar-benar tak terbalas, Patih menjadi gelap mata dengan mengancam membunuh adiknya. Sebaliknya, merasa tidak aman Datu pun memilih melarikan diri dan bersuami dengan orang lain, sebagaiaman diceritakan di atas.
Menurut saya di sinilah inti pesan sebenarnya, sebagaimana kisah Sangkuring di tanah Jawa atau Sawerigading di Sulawesi. Bukan terletak pada jalannya kisah cinta, melainkan upaya untuk menghindari perkawinan sedarah atau larang inses.
Kasus tertolaknya cinta Patih oleh adiknya Datu, memberikan pemahaman pada kita sebagaimana diungkapkan Lévi-Strauss (1969) bahwa larangan inses sudah menjadi norma sosial sejak zaman dahulu kala. Sigmun Freud yang mempengaruhi aliran strukturalisme Lĕvi-Strauss bahwa prilaku-prilaku individu didorong oleh dibawah sadarnya yang ada pada individu, contohnya pada kasus mimpi basah pada seseorang.
Kaitannya dengan incest adalah, manusia memang mempunyai hasrat sex sebagai buktinya mimpi basah tersebut dan begitu juga pada binatang (animality). Akan tetapi strukturalisme bertujuan mengarahkan manusia dari natur ke cultur, artinya ada keteraturan yang tidak disadari pada perilaku seks tersebut bila dikaitkan dengan manusia sebagai makhluk sosial. Van Baal (1998) menjelaskan butir pikiran Lévi-Strauss manusia dimana-mana mengisi kebebasan dengan ketentuan di mana alam memberinya kebebasan. Tapi pertama-tama yang dilakukan manusia ialah membatasi kebebasan itu dengan dengan ketentuan insest yang melarang hubungan seks dengan saudara-saudara tertentu.
Pilihan Datu tajun (melarikan diri) ke pulau seberang, semakin memperjelas upaya menghindari inses. Juga memperkokoh posisi perempuan dalam sistem tukar menukar, menurut Marcel Mauss (1992) Fenomena adanya tukar menukar pada masyarakat, pemberian merupakan fakta sosial, artinya pemberian bukan hanya berkaitan dengan untung dan rugi. Pemberian merupakan alat sosial untuk membangun integrasi sosial.
Mauss melihat adanya hubungan timbal-balik telah terbukti menjadi ‘norma’ yang essensial pada masyarakat yang ditelitinya. Oleh Badcock (2006) menjelaskan dalam kasus The Gift, Mauss mencapainya sebagian paling tidak memberi bobot berat pada perlunya timbal balik, dan dengan melihat timbal balik ini bukan hanya dengan implikasi normatifnya, tetapi juga dengan implikasi strukturalnya karena norma timbal-balik tersebut akan memastikan sistem komunikasi bisa berfungsi dimana bakat-bakat dipertimbangkan.
Kasusnya larinya Datu, menguatkan kedudukan perempuan yang menurut Lévi-Strauss (1969) menempati fungsi yang fundamental. Suatu tinjauan kritis kiranya pada tempatnya diberikan di sini, menurut Van Baal (1988) Lévi-Strauss merefleksikan realisme yang dalam dan mendasar. Memang dalam perkawinan perempuan dijadikan pertukaran, tetapi tidak serta merta berarti perempuan menjadi objek. Lebih lanjut dijelaskan, perempuan membiarkan dirinya dipertukarkan dan dengan itu mewajibkan saudara laki-lakinya untuk memelihara relasi yang permanen dengan dirinya dan anak-anaknya, serta memelihara hubungan matrilineal yang melintasi hubungan patrilineal. Jadi perempuan telah menciptakan kewajiban dalam hubungan kekerabatan.
Kemudian bisa jadi muncul pertanyaan mengapa insest yang dilarang? Di sinilah “Pemberian” Mauss menjadi penting. Bahwa manusia tidak hidup sendiri atau makhluk sosial. Kembali mengutip Van Baal (1988) Manusia harus memperlihatkan sifat timbal balik sebagai satu-satunya ketentuan umum yang mungkin dalam pergaulan antar manusia. Ketentuan timbal-balik tidak hanya bersifat umum, tetapi juga merupakan struktur yang khas dari jiwa yang berfikir secara berpasangan dan yang saling berlawanan serta mencari keseimbangan kesatuan dalam pasangan yang dimana menampakkan dirinya.
Pada akhir kisah Patih, kita melihat suatu jalan keluar yang dilakukan. Patih menikah dengan seorang perempuan di kampungnya (endogami) sedangkan Datu, nampaknya memilih orang luar (eksogami). Terhindarlah mereka dari perkawinan sedarah, dan sebenarnyalah dalam sastra lisan rakyat, terdapat kearifan-kearifan lokal. Kini, menjadi tugas kita semua menggali untuk memaknai pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
.
Read Full Post »